Respon APTIK terhadap Implementasi Kebijakan MBKM

Tulisan ini merupakan respon Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) terhadap implementasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka, dalam Diskusi APTIK dengan tema: “Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM): Dari Filosofis Hingga Praktis” tanggal 7 Mei 2021 yang dirumuskan oleh Tim Pusat Kajian Pendidikan Tinggi Indonesia APTIK dan disepakati bersama Forum Rektor APTIK

 

Kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) telah diluncurkan pada awal tahun 2020, dan pada tahun 2021 ini program-program dari kebijakan tersebut, khususnya terkait Program Hak Belajar Tiga Semester di Luar Program Studi, telah banyak digulirkan. Di berbagai media pemerintah telah gencar mempromosikan berbagai program tersebut lengkap dengan beragam mekanisme termasuk ekuivalensi sks dalam kurikulum di program studi.

Tak dipungkiri, program yang nampak begitu progresif ini telah membuat banyak perguruan tinggi ‘terengah-engah’ mengikutinya saat beberapa mahasiswa menunjukkan antusiasme merespon tawaran program-program tersebut. Muncul persis di saat menjelang terjadinya pandemi covid-19 yang mengharuskan perguruan tinggi segera bermigrasi ke dunia serba digital, kiranya menjadikan kebijakan MBKM seolah ditantang kelenturan dan ketangguhannya untuk tetap lenting dalam berbagai situasi. Meski baru dalam jumlah yang sangat kecil, pengalaman mengelola kesertaan mahasiswa dalam program-program yang digelar kemdikbudristek tersebut kiranya cukup menyita banyak energi. Ketika perguruan tinggi seakan belum ‘sadar betul’ dengan arus yang tengah datang, sementara permintaan rekomendasi mengikuti berbagai program MBKM dari mahasiswa sudah di depan mata, maka tak ada pilihan lain selain menjalankan seraya mengimani bahwa program-program yang belum sepenuhnya terintegrasi dengan manis dalam kurikulum prodi ini, kelak akan berdampak positif bagi tujuan pendidikan yang lebih luas.

Dengan kata lain, memulai dari menenggelamkan diri dalam praktek di lapangan untuk kemudian baru dilanjutkan membuat desain konseptual yang lebih terstruktur setelahnya, tampaknya menjadi hal paling realistis yang dapat dilakukan. “Selamat datang di alam ketidakpastian, selamat mengkonstruksi kebijakan dari lapangan”. Mungkin begitulah slogan yang paling pas saat ini, sebagaimana sebenarnya sudah sering diwacanakan dalam setiap kesempatan pertemuan penting di perguruan tinggi maupun dipidatokan di depan para mahasiswa sebagai pemilik masa depan yang konon susah diprediksi.

Dalam ilmu pendidikan, kiranya kita meyakini bahwa pengalaman adalah guru yang paling sempurna. Kebijakan belajar di luar program studi menganut prinsip tersebut, sehingga diharapkan konstruksi pengetahuan dapat dibuat oleh para mahasiswa. Realitas kondisi lingkungan dan budaya dengan segala keberagaman yang ada di Indonesia maupun manca negara merupakan harta yang sangat berharga sebagai pintu masuk mencapai pengetahuan, keterampilan, serta kebijaksanaan sejati. Apapun pengalaman yang dirasakan mahasiswa ketika berada di luar sarang program studi kiranya dapat berkontribusi membentuk mahasiswa menjadi pribadi yang penuh, sebagaimana dicita-citakan dalam undang-undang pendidikan nasional.

Tentu, idealisme tentang bagaimana pengetahuan dikonstruksi agar melekat abadi dalam memori mahasiswa, benar-benar sejalan dengan rangkaian program dalam kebijakan tersebut. Namun demikian, ada satu asumsi yang seharusnya dipenuhi, yaitu kesiapan para dosen, pengelola program, sistem pendidikan, serta sumber daya non manusiawi lainnya, yang melekat dalam diri para mahasiswa kita. Ketika yang ideal bertemu dengan kenyataan di lapangan, diperlukan mediasi untuk mendamaikan keduanya.

Pergulatannya adalah, kebebasan memilih dan mengkonstruksi pengetahuan yang didaraskan dalam kebijakan MBKM, sudahkah didamaikan dengan keleluasaan dalam mengoperasionalkan pelaksanaannya? Mediasi yang tepat kiranya diperlukan agar semakin optimal tercapainya tujuan ideal dibalik kebijakan tersebut.

Berdasar pandangan tersebut, maka ada dua hal yang kami anggap paling baik untuk dilakukan, yang kami rangkum dalam kalimat ‘kuat di dalam dan lentur ke luar’. Kuat ke dalam dialamatkan pada penguatan kesiapan para pihak yang terlibat dalam menyambut program-program MBKM, sedangkan lentur ke luar diarahkan pada masukan terhadap bagaimana mekanisme implementasi program bisa lebih adaptif terhadap realitas keberagaman perguruan tinggi yang ada di Indonesia.

KUAT DI DALAM

Menyadari adanya kebaikan yang terkandung dari kebijakan MBKM demi peningkatan kualitas pendidikan tinggi Indonesia, sekaligus beberapa kekurangjelasan yang ditemukan di dalamnya, baik dari sisi kurang kuatnya landasan serta kesenjangan antara idealisme dengan realitas keberagaman kultural dan pelaku pendidikan tinggi Indonesia, maka strategi yang paling optimal dapat dilakukan adalah beradaptasi dengan keadaan. Bentuk adaptasi yang dirasa paling bermanfaat adalah membekali diri dengan aneka pengetahuan dan keterampilan sebagai pendidik dan pembelajar tanggap jaman. Oleh karena itu, berbagai penguatan internal yang dapat dilakukan adalah :

  1. Perguruan tinggi perlu secara terus-menerus menggali, menemukan, dan membawa dalam kesadaran tentang hakekat dan tujuan pendidikan tinggi serta spirit nilai-nilai universitas, dalam semua proses pendidikan, mulai dari perencanaan program, pengelolaan kebijakan,pelaksanaan, hingga evaluasi hasil pendidikan, terlepas dari apapun kebijakan dari luar yang tengah dihadirkan
  2. Terhadap pelaksanaan Kebijakan MBKM, khususnya Program Hak Belajar Tiga Semester di Luar Program Studi, perguruan tinggi diharapkan mampu memberikan landasan pembelajaran yang kuat serta memberi corak yang khas sebagai penciri masing-masing perguruan tinggi atas delapan bentuk kegiatan yang dicanangkan. Bentuk paling konkrit yang perlu dilakukan adalah merevitalisasi kurikulum program studi agar menjadi lebih komprehensif dan memiliki landasan kuat bagi program-program MBKM.
  3. Perguruan tinggi perlu melakukan berbagai pelatihan dan pengembangan dalam rangka peningkatan kualitas SDM (para pengelola prodi, fakultas, perguruan tinggi serta dosen), baik dalam aspek mental seperti keterbukaan pikiran, kesiapan berubah, dan keberanian berdiskresi, maupun aspek keterampilan teknis yang dibutuhkan untuk menghadapi kemajuan teknologi dan pengetahuan yang pesat dengan segala disrupsi yang muncul. Pelatihan-pelatihan yang dilakukan hendaknya menjadi bagian dari sistem tata Kelola di perguruan tinggi, sehingga kegiatan MBKM dapat terjamin pelaksanaannya, rapi dokumentasinya, serta dapat dievaluasi dengan tepat.
  4. Dalam rangka optimalisasi pelaksanaan program belajar di luar program studi, perguruan tinggi di Indonesia perlu melakukan sinergi dan kolaborasi dengan Dunia Usaha Dunia Industri (DUDI) yang memiliki keselarasan visi dasar dengan perguruan tinggi serta mampu menjadi komunitas pembelajar yang turut andil memberi pengalaman belajar demi perkembangan mahasiswa, selain memperkuat sinergi internal antar PT yang sudah ada selama ini

LENTUR KE LUAR

Salah satu kekayaan sekaligus faktor yang riskan menimbulkan perpecahan adalah keberagaman yang ada di Indonesia. Sungguh Indonesia negeri yang kaya. Tidak hanya bentangan pulau-pulau dengan karakteristik unik masing-masing, tapi juga budaya dan kebijaksanaan lokal yang diwariskan pada leluhur, telah mencetak beraneka ragam kecenderungan cara berpikir, berperasaan, dan berperilaku dari para manusia yang ada didalamnya. Jika diberi kesempatan untuk saling berinteraksi kiranya keberagaman ini akan mampu memekarkan setiap pribadi di dalamnya. Keberagaman tersebut juga termasuk keberagaman perguruan tinggi. Selain terbagi dalam Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS), tiap jenis PT tersebut masih terbagi dalam berbagai golongan,
baik yang secara formal di-kotak-kan oleh pemerintah, maupun yang secara informal mengelompokkan diri. Tentu, keberagaman PT yang ada di Indonesia itu terbentuk oleh perbedaan berbagai aspek mulai dari keberadaan gedung kuliah secara fisik beserta sarana prasarananya, ‘kekayaan’ finansial yang menghidupi perguruan tinggi secara operasional, kualitas intelektual dan mental para tenaga pendidik dan kependidikan, input mahasiswa, ‘kuasa’ dari ‘sang empunya’ perguruan tinggi, serta aspek-aspek lain yang menjadi penentu kualitas lulusan dan reputasi perguruan tinggi di luar.

Realitas yang ada tersebut seyogyanya berdampak pada kelenturan dalam menanggapi kebijakan pemerintah. Ketegangan yang mungkin terjadi adalah, bagaimana pemangku kebijakan dapat melindungi masyarakat jika tidak ada kontrol berupa standar yang sama terhadap semua perguruan tinggi yang berpraktek di Indonesia? Pertanyaan ini tentu sulit dijawab, namun sebagai sebuah eksperimen kebijakan yang relatif baru dalam sejarah kementerian pendidikan di Indonesia, kiranya baik adanya jika kita juga bereksperimen dalam pengelolaannya.

Dengan prinsip pengalaman adalah harta yang paling berharga, dan pengalaman tidak pernah berkasta, maka tersemat harapan terhadap keterbukaan pemerintah dalam membiarkan para perguruan tinggi melenturkan diri sembari mencari jalan yang paling pas dengan situasi kondisi masing-masing untuk menyasar tujuan yang sama. Secara lebih operasional kelenturan yang diharapkan mencakup:

  1. Penyelarasan antar butir-butir yang ada dalam kebijakan, dari segi perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi ketercapaian tujuan, sehingga terjamin proses utuh usaha mencetak lulusan perguruan tinggi sebagai sumber daya yang handal di masa depan,
  2. Pemberian kepercayaan dan kemerdekaan bagi perguruan tinggi dalam mengelola program-program yang ada, supaya lebih kontekstual dengan keberagaman situasi dan kondisi di dalamnya, dengan tetap berpegang pada esensi dari tiap program, sebagaimana semangat yang tersirat dalam MBKM. Pelaksanaan program MBKM hendaknya didasarkan pada paradigma otonomi perguruan tinggi,
  3. Efisiensi birokrasi dan administrasi dalam aneka aspek perguruan tinggi, baik dalam urusan kemahasiswaan, pengembangan kualitas dosen, serta rekognisi program studi dan perguruan tinggi.

 

Dr. Titik Kristiyani, M. Psi.
Ketua Pusat Kajian Pendidikan Tinggi Indonesia
Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK)